Menurut Helmi, bahwa dari beberapa masyarakat adat Sunda di Indonesia, Urang Kanekeslah yang paling kuat memegang teguh adat leluhurnya (2010:9). Filosofi dalam kepercayaan dan ritual Urang Kanekes sangat mirip dengan kepercayaan orang Atlantis sebagaimana dideskripsikan oleh Plato. Urang Kanekes menyebutkan bahwa tanah adatnya merupakan inti jagat. Keyakinanan itu muncul dari pandangan mereka bahwa disanalah alam semesta ini bermula, dan disana pulalah manusia pertama diturunkan ke bumi. Titik Sakral sebagai inti jagat mereka terletak di Gunung Pamuntuan. Di atasnya terdapat bangunan punden berundak yang mereka sebut Sasaka Pada Ageng . Pada punden tertinggi terdapat menhir yang mereka sebut Sasaka Pusaka Buana. Sasaka Pusaka Buana adalah nama menhir yang ada pada punden ke 13 (punden puncak) dari punden berundak Sasaka Pada Ageung di wilayah tangtu. Disinilah tempat alam semesta bermula, dan tempat Batara Tunggal menurunkan tujuh Batara, dianataranya Batara Cikal yang menurunkan Urang Kanekes dan agama Sunda Wiwitan sebagai manusia pertama dan agama pertama. Oleh sebab itu, wilayah kanekes merupakan wilayah inti jagat atau poros alam semesta yang harus tetap dijaga demi kelangsungan hidup alam semesta beserta isinya. Pelaksanaan tugas ini berbentuk muja atau pensucian Sasaka Pusaka Buana pada tanggal 16-18 bulan Kalima. Mencakup juga penjagaan ekstra ketat dari penodaan inti jagat ini, inilah daerah paling terlarang di Kanekes termasuk bagi orang Kanekesnya sendiri kecuali orang-orang tertentu saja.Selain itu, menurut Saleh Danasasmita, urang kanekes bukan pelarian Pajajaran atau orang primitif. Melainkan para resi seperti yang tercantum dalam prasasti yang dikutip oleh Nina H. Lubis dan Helmi dalam Prasasti nomor E.43 yang berisi amanat menjaga wilayah untuk para pandita.
ASAL USUL KATA âBANTENâ==================Suria Saputera mengajukan teori (sintesa) bahwa akar kata Baduy adalah Waluy yang berarti kembali ke asal. Perubahan W menjadi B biasa terjadi pada kata welas menjadi belas, watu menjadi batu, rewu menjadi rebu (ribu). Juga perubahan L menjadi D, seperti pada kata babal menjadi babad(menebas), euleuh menjadi eudeuh (hal), sabda menjadi sabla (sabda). Kata Bali juga memiliki akar yang sama, yaitu wali, berakar dari kata waluy dengan bentuk antaranya adalah walwi. Dari bentuk Waluy atau Walu, dapat juga berubah menjadi kata walu. Istilah Kawalu di Kanekes berasal dari kata ini-bukan dari kata kawolu (delapan)-, kemudian dalam bahasa Sunda (baik Sunda umum maupun yang ada di Kanekes) ada kecenderungan menghaluskan kata dengan mengganti suku kata yang terakhir dengan ten, misalnya saniskara menjadi saniskanten (segala), sora soara menjadi soanten (suara), sore menjadi sonten (petang). Maka kata bali dapat dihaluskan menjadi banten, wali menjadi wanten, dan menurut Helmi dapat juga menjadi wahanten, sehingga dapat merujuk pada kerajaan Wahanten Girang di Serang. Dengan demikian, menurut Suria Saputra, kata waluy, baduy, wali, bali, walu, banten, dan banten berasal dari induk kata yang sama, yang memiliki arti (yang bersifat spiritual) yang sama, yaitu (manusia) kembali kepada asalnya (wiwitan-nya) (Helmi, 2010:48
Source : www.blogger.com/comment.g?blogID=1311888579207403717&postID=8984388669442053615